Rabu, 25 Julai 2018

Pengertian Iman


Pengertian Iman
Beriman kepada Allah
Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut istilah syari’at yaitu meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan membuktikannya dalam amal perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga hingga tujuh puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah ucapan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan yang menggangu orang yang sedang berjalan, baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan sesuatu yang berbau tak sedap atau semisalnya.
Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam bersabda,
”Iman lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang, paling utamanya perkataan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله  dan yang paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan cabang dari keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi: 2614)
Secara pokok iman memiliki enam rukun sesuai dengan yang disebutkan dalam hadist Jibril (Hadist no. 2 pada hadist arba’in an-Nawawi) tatkala bertanya kepada Nabi Shallahu’alaihi wa sallam tentang iman, lalu beliau menjawab,

الإِيْماَنُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَِئكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرَسُلِهِ والْيَوْمِ اْلآخِرِوَتُؤْمِنَ بِالْقَدِرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

”Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, dan percaya kepada taqdirNya, yang baik dan yang buruk.” (Mutafaqqun ‘alaihi)
Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk amal kebaikan yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu Allah menggolongkan dan menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman dalam firmanNya,
”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” (QS. Al-Baqarah:143)
Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ’imanmu’ adalah shalatmu tatkala engkau menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum turun perintah shalat menghadap ke Baitullah (Ka’bah) para sahabat mengahadap ke Baitul Maqdis.
Iman kepada Allah
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya apa yang dikehendakiNya.[1]
Beriman kepada Allah juga bisa diartikan[2], berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur[3]:
1. Beriman akan adanya Allah.
Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
(a). Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah ini tidak akan berubah kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya. Nabi Shallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَامِنْ مَوْلُوْدٍِ إِلاَّ يُوْ لَدُعَلَى الْفِطْرَةِ فَأَ بْوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْيُمَجِّسَانِهِ

Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nashrani, atau Majusi.”( HR. Bukhori)
Bahwa makhluk tersebut tidak muncul begitu saja secara kebetulan, karena segala sesuatu yang wujud pasti ada yang mewujudkan yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah berfirman,
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”(QS. Ath-Thur: 35)
Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang menciptakan dan tidak mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti mereka pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah yang maha suci.
Lebih jelasnya kita ambil contoh, seandainya ada orang yang memberitahu anda ada sebuah istana yang sangat megah yang dikelilingi taman, terdapat sungai yang mengalir di sekitarnya, di dalamnya penuh permadani, perhiasan dan ornamen-ornamen indah. Lalu orang tersebut berkata kepada anda, istana yang lengkap beserta isinya itu ada dengan sendirinya atau muncul begitu saja tanpa ada yang membangunnya. Maka anda pasti segera mengingkari dan tidak mempercayai cerita tersebut dan anda menganggap ucapannya itu sebagai suatu kebodohan.





Mungkinkah Istana yang Indah Ada dengan Sendirinya ?

Lalu apa mungkin alam semesta yang begitu luas yang dilengkapi dengan bumi, langit, bintang, dan planet yang tertata rapi, muncul dengan sendirinya atau muncul dengan tiba-tiba tanpa ada yang menciptakan?
(b). Adannya kitab-kitab samawi yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula hukum serta aturan dalam kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi kemaslahatan manusia menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
(c). Adanya orang-orang yang dikabulkan do’anya. Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, ini menjadi bukti-bukti kuat adanya Allah. Allah berfirman:
Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan kami memperkenankan doanya, lalu kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (QS. Al-Anbiya’: 76)
(d). Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan yang disebut mukjizat adalah suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang tidak lain Dia adalah Allah Azza wa Jalla.
Misalnya: Mukjizat nabi Musa ’Alahissalam. Tatkala belau diperintah memukulkan tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah lautan tersebut menjadi dua belas jalan yang kering dan air di antara jalan-jalan tersebut laksana gunung. Firman Allah,
Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar” (QS. Asy-Syu’ara’: 63)
Contoh lain adalah mukjizat yang diberikan kepada nabi Isa ’Alaihissalam berupa membuat burung dari tanah, menyembuhkan orang buta sejak lahirnya dan penyakit sopak (sejenis penyakit kulit), menghidupkan orang mati dan mengeluarkan dari kuburannya atas izin Allah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. ”(QS. Ali Imran: 49)
2. Mengimani sifat rububiyah Allah (Tauhid Rububiyah)
Yaitu mengimani sepenuhnya bahwa Allah-lah memberi rizki, menolong, menghidupkan, mematikan dan bahwasanya Dia itu adalah pencipta alam semesta, Raja dan Penguasa segala sesuatu.
3. Mengimani sifat uluhiyah Allah (Tauhid Uluhiyah)
Yaitu mengimani hanya Dia lah sesembahan yang tidak ada sekutu bagi-Nya, mengesakan Allah melalui segala ibadah yang memang disyariatkan dan diperintahkan-Nya dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Tauhid rububiyah saja tanpa adanya tauhid uluhiyah belum bisa dikatakan beriman kepada Allah karena kaum musyrikin pada zaman Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam juga mengimani tauhid rububiyah saja tanpa mengimani tauhid uluhiyah, mereka mengakui bahwa Allah yang memberi rizki dan mengatur segala urusan tetapi mereka juga menyembah sesembahan selain Allah.
Allah berfirman,
Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan.’ Maka, mereka men-jawab: ‘Allah.’ Maka, katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?’ (QS. Yusuf: 31-32)
Dan Allah berfirman,
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain ).” (QS. Yusuf : 106)
4. Mengimani Asma’ dan Sifat Allah (Tauhid Asma’ wa Sifat)
Yaitu menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah, tanpa tahrif[4]dan ta’thil[5] serta tanpa takyif[6] dan tamtsil[7].
Dua Prinsip dalam meyakini sifat Allah Subhanahu wa ta’ala,
  • Allah Subhanahu wa ta’ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.
  • Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah dan diri seperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah.[8]
Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya.[9]
Allah berfirman,
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy-Syuura’: 11)
Buah beriman kepada Allah
Beriman kepada Allah secara benar sebagaimana digambarkan akan membuahkan beberapa hasil yang sangat agung bagi orang-orang beriman, diantaranya:
1. Merealisasikan pengesaan kepada Allah sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya Yang Agung.
3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.

Selasa, 24 Julai 2018

Rukun Iman

بسم الله الرحمن الرحيم 


RUKUN IMAN ada 6 perkara;
 1.Beriman kepada Allah
2.Beriman kepada Malaikat
3.Beriman kepada Kitab-kitabNya
4.Beriman kepada Rasul-rasulNya
5.Beriman kepada Hari Akhirat
6.Beriman kepada Qada' dan Qadar

RUKUN IMAN Ialah: Beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya dan Hari Akhirat serta Qadar (untung) baik mahupun buruk.  
Firman Allah Taala:  
“Tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Akhirat, para malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi”. (Surah Al-Baqarah, ayat 177). 
Firman Allah Taala:  
 “Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitabkitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka berkata: Kami tidak membezakan antara seorang dengan yang lain dari rasul-rasulNya”. (Surah Al-Baqarah, ayat 285). 
 “Sesungguhnya Kami menciptakan setiap sesuatu menurut takdir (yang telah ditentukan)”. (Surah Al-Qamar, ayat 49). 
Sabda Rasulullah  s.a.w:  
 (( الإيمان أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خير وشره )). [ رواه مسلم ]. 
“Iman itu ialah: Engkau beriman dengan Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan Hari Akhirat serta Qadar (untung) baik dan yang tidak baik”. (Hadis riwayat Muslim). 
Iman itu: Pengucapan dengan lidah, iktikad (percaya) dengan hati dan beramal dengan anggota, iman bertambah dengan melakukan ketaatan serta berkurangan dengan sebab melakukan maksiat. 

Firman Allah Taala: 
 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu (yang sempurna imannya) ialah mereka yang apabila disebut (nama) Allah (dan sifat-sifatNya) gementarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka bertambah iman mereka dan kepada Tuhan mereka jualah mereka berserah. Orang-orang yang mendirikan solat dan yang mendermakan sebahagian daripada rezeki yang kami kurniakan kepada mereka, merekalah orangorang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan mendapat pangkat-pangkat yang tinggi di sisi Tuhan mereka dan keampunan serta limpah kurnia yang mulia (syurga)”. (Surah AlAnfal, ayat 2-4). 
Firman Allah Taala:  
 “Sesiapa yang kufur kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitabkitabNya dan rasul-rasulNya juga Hari Akhirat, maka sesungguhnya ia telah sesat dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya”. (Surah AnNisa’, ayat 136).   
Iman dengan lidah adalah seperti zikir, doa, amar makruf nahi mungkar, membaca Al-Quran dan seumpamanya. 
Manakala iman dengan hati adalah seperti iktikad (percaya) kepada keesaan Allah dalam Rububiyyah (kekuasaan)Nya, Uluhiyyah (ketuhanan)Nya, nama-namaNya, sifat-sifatNya dan wajib menyembahNya dengan tidak ada sekutu bagiNya serta semua perkara yang berkaitan dengannya daripada niat dan maqasid (tujuan). 
Termasuk juga dalam takrifan iman ialah amalan-amalan hati, seperti cintakan Allah, takutkanNya, sentiasa kembali kepadaNya, bertawakkal kepadaNya dan sebagainya. 
Juga termasuk dalam kategori Iman, amalan-amalan yang dilakukan oleh anggota, antaranya: solat, puasa, semua Rukun Islam yang lain, berjihad pada jalan Allah, menuntut ilmu dan lainnya. 
Firman Allah Taala: 
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, maka bertambah iman mereka”. (Surah Al-Anfal, ayat 2). 

Firman Allah Taala:  
             “(Dialah Tuhan yang membuka jalan kemenangan itu) Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang yang beriman (semasa mereka meradang terhadap angkara musuh) supaya keimanan dan keyakinan mereka bertambah di samping keimanan dan keyakinan mereka yang telah sedia ada.” (Surah AlFath, ayat 4).  
Iman itu bertambah apabila bertambahnya ketaatan dan pendekatan diri seseorang kepada Allah dan iman akan berkurangan apabila kurang amalan dan pendekatan diri seseorang kepada Allah, demikian juga dengan maksiat, ia akan memberi kesan kepada kesempurnaan iman. Apabila perbuatan syirik yang besar atau perbuatan kufur yang besar dilakukan maka terungkailah asas iman menurut syarak dan terbatallah iman seseorang itu, manakala sekiranya perbuatan syirik kecil dilakukan maka ianya merosakkan kesempurnaan iman yang wajib atau mengeruhkan kemurniannya serta melemahkannya. 
Firman Allah Taala:  
 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampunkan dosa syirik (mempersekutukan)Nya (dengan sesuatu yang lain) dan akan mengampunkan dosa yang lain dari itu bagi sesiapa yang dikehendakiNya”. (Surah An-Nisa’, ayat 48). 
Firman Allah Taala:  
 “Mereka bersumpah dengan nama Allah bahawa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang buruk terhadapmu), padahal sesungguhnya mereka telah mengatakan kufur dan mereka pula menjadi kafir sesudah (melahirkan) Islam”. (Surah At-Taubah, ayat 74). 
Sabda Nabi s.a.w: 
(( لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن، ولا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن، ولا يشرب الخمر حين شربها وهو مؤمن )). 
[ متفق عليه ]. 
“Tidak berzina seorang penzina ketika melakukan zina dalam keadaan dia beriman, tidak mencuri seorang pencuri ketika mencuri dalam keadaan dia beriman dan tidak minum arak seseorang ketika meminumnya dalam keadaan dia beriman”.  (Hadis Muttafaq ‘Alaih: Al-Bukhari dan Muslim). 

Ahad, 22 Julai 2018

Haji

Haji

Haji (Arab/Jawiحج Ḥajj "ziarah") adalah ziarah suci yang dilakukan umat Islam ke MakkahArab Saudi setiap tahun dan merupakan yang terbesar di dunia. Haji adalah rukun ke-5 yang wajib dilaksanakan seperti yang tertakluk dalam Rukun Islam, kewajipan agama ini hendaklah dilakukan oleh umat Islam sekurang-kurangnya sekali dalam seumur hidup mereka bagi yang berkemampuan dan larat mengerjakannya Haji menunjukkan perpaduan dan persaudaraan dalam kalangan Muslim serta penyerahan jiwa kepada Allah.
Ziarah ini dilakukan pada 8 hingga 12 hari bulan Zulhijjah, bulan terakhir dalam takwim Islam. Disebabkan takwim tersebut merupakan kalendar qamari dan ia mengandungi 11 hari kurang berbanding kalendar Gregory(kalendar Masihi), maka hari pelaksanaan haji mengikut tarikh Gregory sering berubah dari tahun ke tahun.

Etimologi

Perkataan "haji" berasal daripada bahasa Arab iaitu hajj (حج) yang membawa maksud ziarah ke tempat tertentu dalam waktu yang lama untuk menunaikan kewajipan agama. Dalam segi bahasa itu juga, haji boleh membawa maksud menuju kepada Allah Yang Maha Agung. Dari segi syarak pula, ia membawa maksud mengunjungi rumah Allah dalam bulan-bulan haji atas sebab melakukan pekerjaan seperti wukuf di Arafahtawafsa'i dan sebagainya menurut syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu dengan niat semata-mata kerana Allah.

Dalil

Terdapat beberapa dalil mengenai ibadah haji. Antaranya adalah seperti dalam ayat ke-27, Surah al-Hajj dan ayat ke-97, Surah Ali Imran:
La bracket.pngSurah al-Hajj ayat 27 وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍRa bracket.png
— Dan maklumkanlah kepada manusia supaya mengerjakan haji, nescaya mereka akan datang kepada Engkau dengan berjalan kaki dan mengenderai unta yang kurus, mereka datang datang dari segenap ceruk penjuru atau pelusuk yang jauh (seluruh dunia)
La bracket.pngSurah ali Imran ayat 97 فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّـهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّـهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَRa bracket.png
— Di situ ada tanda-tanda keterangan yang nyata (yang menunjukkan kemuliaannya; di antaranya ialah) Makam Nabi Ibrahim. Dan sesiapa yang masuk ke dalamnya aman tenteramlah dia. Dan Allah mewajibkan manusia menunaikan ibadah haji dengan mengunjungi rumah Allah bagi sesiapa yang mampu sampai kepadanya dan sesiapa yang kufur maka sesungguhnya Allah itu Maha Kaya daripada sekalian alam.

Sejarah

Zaman Nabi Ismail

Selepas kelahiran Nabi Ismail, anak kepada Nabi Ibrahim dan isterinya, Siti Hajar, baginda dan ibunya telah dibawa ke sebuah kawasan padang pasir gersang dan kosong di tengah-tengah Semenanjung Arab. Hajar telah mengikuti suaminya dan berkata, "Oh, Ibrahim, ke manakah kamu hendak pergi, meninggalkan kami di lembah yang tiada orang ini dan tiada peneman dan tiada apa-apa disini?". Beliau mengulangi kenyataan tersebut dan akhirnya beliau bertanya adakah ini semua adalah suruhan Allah. Lalu Nabi Ibrahim mengiyakannya dan meninggalkan mereka berdua di situ dengan hati yang berat. Lalu baginda berdoa seperti yang tercatat dalam ayat ke-37, surah Ibrahim iaitu:
La bracket.pngSurah Ibrahim ayat 37 رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَRa bracket.png
— Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya aku telah tempatkan sebahagian dari zuriat keturunanku di sebuah lembah (Makkah) yang tiada padanya tanaman, disisi rumahMu yang diharamkan mencerobohinya. Wahai Tuhan kami, (mereka ditempatkan di situ) supaya mereka mendirikan sembahyang (dan memakmurkannya dengan ibadah). Oleh itu, jadikanlah hati sebahagian dari manusia tertarik kepada mereka (supaya datang beramai-ramai ke situ) dan kurniakanlah rezeki kepada mereka dan pelbagai jenis buah-buahan dan hasil tanaman, semoga mereka bersyukur.
Setelah berada di kawasan itu untuk beberapa ketika, Hajar dan Nabi Ismail telah kehabisan makanan dan minuman. Kemudian, Hajar telah lari berulang-alik dari bukit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali untuk mencarinya. Perbuatan beliau menjadi simbolik kepada ibadah sa'i yang dilakukan dalam haji. Dalam keadaan terdesak itu, beliau berdoa kepada Allah. Nabi Ismail kemudiannya menangis dan menghentak-hentak kakinya ke tanah lalu terpancutlah air dari bawah tanah (sesetengah versi mengatakan malaikat telah menggali kawasan air tersebut dengan kakinya (atau sayapnya) dan keluarlah air itu). Perisitiwa itu menandakan kemunculan telaga Zam-zam seperti yang dilihat pada hari ini.

Zaman Nabi Muhammad

Fail:Hajj.ogv
Kaabah ketika musim haji.
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad lagi, puak-puak dari seluruh Semenanjung Arab akan melakukan haji di Makkah pada setiap tahun walaupun ketika itu, kepercayaan anutan puak-puak tersebut adalah berbeza antara satu sama lain.Para sejarawan Islam merujuk zaman sebelum kerasulan Muhammad sebagai zaman jahiliah (bermaksud tidak tahu, jahil) di mana pada zaman itu, binaan Kaabahdikelilingi oleh beratus-ratus jenis patung berhala. Antara patung berhala yang terkenal adalah Hubal, al-Lat dan al-Uzza. Sebelum menerima wahyu lagi, Muhammad pernah menunaikan umrah di Kaabah. Ketika zaman pembukaan kota Makkah, Muhammad dan umat Islam telah membersihkan Kaabah daripada segala jenis berhala. Sejak itu, ibadat haji menjadi salah satu tuntutan yang perlu dipenuhi oleh umat Islam seperti yang termaktub dalam Rukun Islam.

Persediaan

Syarat

Keempat-empat mazhab dalam fahaman Ahli Sunnah Waljamaah iaitu mazhab HanafiMalikiSyafie dan mazhab Hambali menetapkan bahawa syarat-syarat menunaikan haji adalah seperti berikut:
  • Beragama Islam. Haji tidak diwajibkan kepada orang bukan Islam dan jika dilakukan, hajinya adalah tidak sah.
  • Merdeka. Golongan hamba sahaya tidak wajib melakukan haji.
  • Baligh. Haji adalah tidak wajib bagi kanak-kanak dan haji mereka itu sah jika dia telah mumaiyiz. Walau bagaimanapun, kefarduan haji kanak-kanak itu masih belum terlepas melainkan dilakukan setelah baligh.
  • Berakal. Orang yang gila tidak diwajibkan untuk mengerjakan haji dan jika ia dilakukan, maka hajinya tidak sah.
  • Berkemampuan. Bagi syarat ini, terdapat beberapa bahagian yang perlu dipatuhi seperti:
1. Berkuasa membayar semua perbelanjaan haji sehingga selesai.
2. Mempunyai kenderaan untuk pergi dan balik daripada haji.
3. Mempunyai bekalan yang cukup untuk saraan nafkah orang yang di bawah tanggungannya.
4. Keadaan perjalanan hajinya adalah aman daripada sebarang kekacauan.
5. Tidak mengalami sebarang masalah semasa berada dalam kenderaan.
Bagi mazhab Hambali, ia menambah dua lagi syarat iaitu sihat anggota tubuh badan dan perjalanan haji itu hendaklah aman.

Rukun


Gambar menunjukkan arah tawaf dan sa'i di Makkah.
Rukun haji merupakan suatu amalan asas yang mesti ditunaikan. Jika rukun-rukun haji tidak dilakukan, maka hajinya adalah tidak sah dan ia wajib digantikan. Rukun-rukun haji adalah seperti:
  • Niat ihram haji.
Lafaz niat haji hendaklah dilakukan di miqat dan jika jemaah haji sudah berada di kawasan Makkah, maka niat boleh dilafaz di kawasan itu sendiri. Selepas niat, para jemaah wajib menjaga segala amalan mereka terutamanya berkaitan amalan wajib dan larangan semasa dalam melakukan haji.
  • Wukuf di Arafah.
  • Melontar tiga jamarah ( ula, wusta dan akabah)
  • Melakukan tawaf rukun (tawaf ifadhah)
  • Sa'i, yakni lari-lari ayam atau berjalan cepat di antara bukit Shafa dan Marwah.
  • Mencukur/menggunting rambut. Paling sedikitnya memotong tiga helai rambut.
  • Tertib, yakni menjalankan rukun haji secara berurutan.

Jenis

Ibadat haji terbahagi kepada tiga jenis iaitu:
  • Haji Ifrad: Ifrad bermaksud "berasingan". Manakala haji ifrad pula bermaksud melakukan haji dan umrah secara berasingan di mana umrah tidak dilakukan dalam bulan haji. Haji jenis ini tidak dikenakan dam.
  • Haji Tamattuk: Tamattuk bermaksud "bersenang-senang". Haji tamattuk membawa erti umrah dilakukan dahulu pada bulan haji. Haji dilakukan kemudian ketika tiba masanya untuk menunaikan haji. Haji jenis ini dikenakan dam.
  • Haji Qiran: Qiran bererti "bersama-sama". Maksud haji qiran adalah melakukan haji dan umrah secara serentak. Haji jenis dikenakan dam dan dilakukan oleh kalangan jemaah haji yang tiba lewat pada waktu haji (7 dan 8 Zulhijjah).

Dam

Dam dari segi bermaksud bahasa ialah darah. Dari segi istilah syarak pula, ia membawa maksud denda yang dikenakan kepada jemaah haji yang telah meninggalkan perkara yang wajib semasa menunaikan haji atau melanggar perkara larangan. Dam terbahagi kepada tiga jenis iaitu:
  • Dam tertib dan takdir
  • Dam tertib dan ta'dil
  • Dam takhyir dan ta'dil
  • Dam takhyir dan takdir

Haji Mabrur

Apabila merujuk kitab hadis yang muktabar seperti Sahih Bukhari, Imam Bukhari meriwayatkan hadis-hadis daripada Abu Hurairah dan Aisyah tentang kelebihan "Haji Mabrur",Manakala Imam Muslim meletakkan perbincangan haji yang diterima di dalam bab "Iman kepada Allah Taala seafdal-afdal amalan".Haji mabrur bermaksud haji yang diterima. Ibn Kholawaih mentakrifkan al Mabrur sebagai al Maqbul iaitu "diterima". Dan ada yang mengatakan sesuatu yang tidak bercampur dengan dosa. Kemudian, diabsahkan oleh Imam Nawawi dengan pendapat tersebut (tidak bercampur dosa) 

Cara mencapai haji mabrur

Secara umumnya, untuk mencapai haji yang diterima disisi Allah hendaklah memenuhi kriteria berikut;
  • 1: Hajinya hendaklah ikhlas semata-mata kerana Allah dan tidak riyak (menunjuk-menunjuk).
Imam Nawawi ketika menafsirkan hadith diatas dengan berkata “mabrur (diterima) adalah baik hajinya. Dikatakan almabrur juga ialah haji yang tidak bercampur dengan dosa. Ada yang mengatakan tidak ria’ pada hajinya” 
Niat menunaikan haji hendaklah ikhlas bermula dari keluar rumah dan tidak boleh berniat selain daripada Allah seperti perasaan riya’ iaitu menunjuk-nunjuk atau sebagainya yang membawa kepada kemurkaan ALlah
Di dalam Musnad Ahmad, ada sebuah hadith:
“Sesiapa yang keluar dari rumahnya, pada tangannya ada dua bendera, satu bendera pada malaikat dan satu bendera pada syaitan, jikalau dia keluar dengan niat kerana Allah, malaikat akan mengekorinya bersama bendera tadi, maka bendera tadi masih bersamanya sehingga dia kembali ke rumahnya, dan jikalau dia keluar dari rumahnya melakukan kemurkaan kepada Allah, maka syaitan akan mengekorinya bersama benderanya, dan bendera tersebut masih bersamanya sehingga dia kembali ke rumahnya” 
  • 2: Kesemua perbelanjaan haji adalah berpunca daripada yang halal.
Di dalam Sahih Muslim ada hadith menyebut:
“Sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak menerima kecuali yang baik-baik dan sesungguhnya Allah menyuruh orang mukmin megikut apa yang diperintahkan oleh para utusan Allah. Kemudian baginda membacakan ayat alQuran
“Wahai sekalian Rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik (halal) dan beramal soleh. Sesungguhnya aku tahu apa yang kamu lakukan [Surah alMukminun : 51]”
Kemudian Rasulullah membacakan lagi :
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari (makanan) yang baik-baik (halal) dari apa yang kami rezekikan” [Surah alBaqarah 172]
Kemudian disebut, seorang lelaki bermusafir menadah tangan ke langit seraya berkata “Ya Tuhanku” sedangnya punca makanan dari yang haram, minuman punca yang haram, pakaiannya punca yang haram. Bagaimana ia boleh diterima??” 
Oleh itu, sewajarnya sebagai seorang yang akan menunaikan haji meneliti dan bermuhasabah kembali sumber-sumber pendapatan, perbelanjaannya dan bekalannya disana dari sumber-sumber yang halal.
  • 3: Melakukan fardhu haji sesuai dengan ditunjukkan oleh sunnah yang sahih.
Bermula dengan niat sehinggalah haji wada’ ditunjukkan oleh Baginda Rasulullah didalam sunnahnya. Sebagai seorang muslim yang sejati, kita wajar meneladani Baginda tanpa menambah-nambah ibadat yang tidak pernah dilakukan Baginda.
Ini sesuai dengan sabda Baginda;
“Sesiapa yang memperbaharui urusan agama (menokok tambah), maka mereka bukan dari kalangan kami (umat Muhammad)” 
Syeikh Mustafa azZarqa’ ketika ditanya makna haji yang mabrur, beliau menyatakan diantara ciri-ciri hajinya diterima ialah “hendaklah bagi tuan empunya yang menunaikan haji tidak melampau-lampau didalam mengerjakan kewajipan haji, tidak mengabaikan adab-adab haji dan sunnah-sunnahnya, memperbanyakkan taat, ibadat, sedekah, menjadi teladan (kepada orang lain) dengan memiliki budi pekerti yang baik, memberi makan sekadar kemampuannya, berkata-kata dengan lembut, dapat mengawal setiap cabaran yang ditempuh, bersikap berlapang dada dan pemaaf, kembalinya dari haji dengan memandang tinggi kehidupan akhirat dan berniat untuk kekal (seperti keadaan tersebut) dan istiqomah” 
  • 4: Melakukan ibadat haji sepenuhnya dengan taat tanpa mempertikaikannya
Ali Radiyallahu’anh ketika ditanya perbuatannya mencium hajarul aswad, maka beliau menjawab “Kau hanya sebuah batu yang tidak mempu memberi faedah dan mudarah, kalau bukanlah kerana Rasulullah mengucupnya, sudah aku aku tidak aku mengucupnya”
Ini jelas menunjukkan kita melakukan ibadat mengikut teladan yang ditunjukkan oleh Rasulullah tanpa menokok tambah berdasarkan akal semata-mata.
  • 5- Setelah menunaikan haji, berusaha pula melakukan badal (ganti) haji ayah dan ibu yang tidak berkemampuan menunaikan Haji:
Ini sesuai dengan hadith :
“Ya Rasulullah, sesungguhnya emakku telah bernazar untuk menunaikan haji, tetapi tidak ditunaikan sehingga dia meninggal dunia, adakah aku perlu menunaikan hajinya? Sabda Rasulullah : Ya, tunaikanlah haji untuknya. Adakah kau lihat jika emakmu berhutang engkau akan membayarnya? Jawab wanita tersebut : Ya. Sabda Nabi : Begitu juga (hutang) kepada Allah. Malah kepada Allah lebih layak dilunaskan (hutangnya)”. 
Didalam hadith yang lain:
“Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan ke atas hamba-hambanya menunaikan haji. Bapaku seorang yang tua tidak mampu pergi bermusafir (ke Mekah), adakah aku perlu menunaikan haji untuknya? Sabda Rasulullah : Ya” 

Bumi Makkah

Menurut riwayatnya, ramai para sahabat menyatakan bahawa bumi Makkah adalah yang pertama sekali muncul dari air selepas penciptaannya dan daripadanya bumi-bumi lain terbentang dan terhampar. Keistimewaan yang terdapat di Makkah ialah Masjidil Haram.
Keistimewaan Masjidil Haram pula ialah kerana Kaabah atau Baitullah, yang menjadi kiblat bagi umat Islam.
Baitullah adalah sebuah bangunan yang hampir-hampir empat persegi. Tingginya 15 meter dan luasnya lebih kurang 120 meter persegi. Bangunan ini terletak di tengah-tengah Masjidil Haram. Di salah satu penjuru Kaabah ini terdapat Hajarul Aswad yang menjadi tempat permulaan untuk mengerjakan tawaf.

Makam Ibrahim

Makam Ibrahim bukanlah kuburan Nabi Ibrahim sebagaimana dugaan atau pendapat sebahagian orang-orang kebanyakan. Ia adalah merupakan bangunan kecil yang terletak lebih kurang 20 hasta di sebelah timur Kaabah. Di dalam bangunan kecil ini terdapat sebiji batu yang diturunkan oleh Allah dari Syurga bersama-sama dengan Hajarul Aswad. Di atas batu itu Nabi Ibrahim berdiri di waktu baginda membangunkan Kaabah dan puteranya Nabi Ismail memberikan batu kepadanya.
Batu itu dipelihara Allah, sekarang ini sudah ditutup dengan perak. Sedangkan bekas kedua tapak kaki Nabi Ibrahim panjangnya 27 cm, lintangnya 14 cm dan dalamnya 10 cm masih nampak dan jelas dilihat.
Atas perintah Khalifah Al Mahdi Al Abbasi di sekeliling batu makam Ibrahim itu telah diikat dengan perak dan dibuat kandang besi berbentuk sangkar burung.

Hajar Aswad

Menurut sejarahnya, Hajar Aswad diturunkan oleh Allah dari langit ke atas Jabal Qubais. Ia merupakan sebiji permata putih, lebih putih dari salji, tetapi lama-kelamaan menjadi hitam sebab disentuh oleh orang-orang musyrik.
Kalau tidak kerana sentuhan tersebut nescaya cahayanya menerangi antara timur dan barat. Ini diterangkan dari hadis Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam yang bermaksud: Dari Ibnu Abbas r.a. katanya, Rasulullah s.a.w bersabda :" Hajarul Aswad diturunkan dari syurga dan berwarna lebih putih dari susu. Dosa-dosa manusia (anak Adam ) menyebabkannya menjadi hitam " . Riwayat Ahmad dan Turmizi

Telaga Zam Zam

Telaga Zam-Zam adalah sebagaimana telaga biasa, tetapi mempunyai riwayat yang tersendiri. Sejarahnya adalah berhubung kait dengan sejarah Nabi Ismail a.s. dan ibunya Siti Hajar (isteri Nabi Ibrahim a.s.) yang datang ke Makkah. Mengikut asal mula riwayat telaga ini adalah seperti berikut; Nabi Ibrahim a.s. mempunyai dua orang isteri; Siti Sarah dan Siti Hajar (ibu Nabi Ismail).
Pada satu ketika terjadi pertelingkahan antara kedua isteri tersebut sehingga Siti Sarah bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama ibu Ismail dalam satu negeri. Kemudian turunlah wahyu kepada Nabi Ibrahim supaya baginda bersama-sama anak dan isterinya (Ismail dan Hajar) pergi ke Makkah. Di waktu itu Makkah belum didiami manusia, hanya merupakan lembah pasir dan bukit-bukit yang tandus dan tidak ada air.
Apabila mereka tiba di Makkah, mereka tinggal di bawah sepohon pokok yang kering. Di tempat inilah bangunan Kaabah yang ada sekarang. Tidak berapa lama, kemudian Nabi Ibrahim meninggalkan mereka dengan dibekalkan sekantong kurma dan sekibah air.
Siti Hajar memerhatikan sikap suaminya yang menghairankan itu lalu bertanya ;
"Hendak kemanakah engkau Ibrahim?" "Sampai hatikah engkau meninggalkan kami berdua ditempat yang sunyi dan tandus ini ? "
Pertanyaan itu berulang kali, tetapi Nabi Ibrahim tidak menjawab sepatah kata jua pun.
Siti Hajar bertanya lagi;
"Adakah ini memang perintah dari Allah ?"
Barulah Nabi Ibrahim menjawab, "ya".
Mendengar jawapan suaminya yang ringkas itu, Siti Hajar gembira dan hatinya tenteram. Ia percaya hidupnya tentu terjamin walaupun di tempat yang sunyi, tidak ada manusia dan tidak ada segala kemudahan. Sedangkan waktu itu, Nabi Ismail masih menyusu.
Selang beberapa hari, air yang dibekalkan Nabi Ibrahim habis. Siti Hajar berusaha mencari air di sekeliling sampai mendaki Bukit Safa dan Marwah berulang kali sehingga kali ketujuh (kali terakhir ) ketika sampai di Marwah, tiba-tiba terdengar oleh Siti Hajar suara yang mengejutkan, lalu ia menuju ke arah suara itu. Alangkah terkejutnya, bahawa suara itu ialah suara air memancar dari dalam tanah dengan derasnya. Air itu adalah air zam-zam.
Di sini Siti Hajar bertemu dengan Malaikat Jibrail dan Jibrail mengatakan kepadanya, " Jangan khuatir, di sini Baitullah ( rumah Allah ) dan anak ini (Ismail ) serta ayahnya akan mendirikan rumah itu nanti. Allah tidak akan mensia-siakan hambaNya".
Air zam-zam mempunyai keistimewaan dan keberkatan, ia boleh menyembuhkan penyakit, menghilangkan dahaga serta mengenyangkan perut yang lapar. Keistimewaan dan keberkatan itu di sebut dalam sepotong hadith Nabi yang bermaksud:, " Dari Ibnu Abbas r.a. katanya, Rasulullah s.a.w bersabda: "sebaik-baik air di muka bumi ialah air zam-zam, ia merupakan makanan yang mengenyangkan dan penawar bagi penyakit ". Riwayat - At Tabrani dan Ibnu Hibban.

Lihat juga